Balada Seorang Narapidana (Bagian 104)


Oleh, Dalem Tehang     


SAAT kami penghuni kamar 10 masih mengikuti kegiatan mengaji Juz Amma yang dipimpin Hasbi, setelah solat Maghrib, seorang tamping membuka pintu kamar.


“Om Mario, disuruh ke pos. Ada adeknya dateng,” kata tamping itu.


Masih dengan menggunakan kain sarung dan kupluk, aku berjalan menuju pos penjagaan bersama tamping. Ternyata Laksa yang datang.


Begitu aku sampai di jeruji besi, ia mendekat. Kami bersalaman dan berpelukan.


“Nganterin untuk kakak makan malem dan buat sahur nanti. Tadi ayuk minta tolong saya,” kata Laksa.


Aku lihat, ada tiga kantong plastik besar di atas meja petugas jaga. Mengetahui aku melihat bawaan Laksa, seorang petugas piket membuka pintu penghubung dan memerintahkan tamping membawa tiga kantong plastik itu ke kamarku.


“Waduh, jadi ngerepotin kamu aja, dek. Maaf ya, dek,” ujarku sambil kembali memeluk Laksa, yang masih memakai pakaian kantornya.


“Nggak apa-apa, kak. Nggak repot juga kok saya karena ini. Kakak yang tenang, tadi saya sudah nengok ayuk. Nggak apa-apa kok. Cuma demam. Kecapean dan makannya nggak teratur aja,” kata Laksa, menenangkanku.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, dek. Allah yang membalas semua kebaikanmu,” kataku dengan haru.


Setelah berbincang sesaat, Laksa pun pamitan. Kami berpelukan dan kali ini sama-sama meneteskan air mata. Jiwa yang tersayat oleh kenyataan menyesakkan ini, memang tidak mengeluarkan darah. Namun rasanya lebih perih dari luka yang berdarah-darah.


Setelah solat Isya dan mengikuti apel malam, kami makan bersama. Hasbi telah memilah mana yang untuk makan malam, dan mana untuk kami makan sahur.


“Kami semua besok puasa sunah kayak biasa. Pakde Dian, om Hendri, om Herman, dan om Robi gimana. Puasa juga nggak,” kata Atmo di sela-sela kami makan malam.


“Aku ini seumur-umur nggak pernah puasa lo, Atmo. Kalau ikut puasa besok, kuat nggak kira-kira,” sahut Robi sambil tersenyum malu.


“Masak om seumur gini belum pernah puasa sih? Kalau pas bulan Ramadhan kayak mana jadinya,” Tomy menyela.


“Beneran. Suwer. Aku belum pernah jalanin puasa emang. Kalau pas Ramadhan, di rumah aku ya puasa. Siang-siangan, keluar. Cari makan di warung,” ujar Robi.


“Apa istri dan anak-anak om nggak tahu kelakuan om itu,” lanjut Tomy.


“Kalau istri sih tahu. Kalau anak-anak, sampai sekarang nggak tahu. Mereka tahunya aku ya puasa,” jelas Robi. Kali ini sambil nyengir.


“Demi kebersamaan kita, kecuali Pepen ya. Kita semua besok puasa,” kata Irfan sambil menengokkan wajahnya, memandangku.


“Kalau Babe merintahin, aku siap jalanin. Biar tahu juga kayak mana rasanya puasa itu,” sahut Robi dengan suara tegas.


“Aku nggak mau merintahin hal-hal yang urusannya langsung sama Yang Kuasa, Robi. Kalau mau puasa, ya cuma karena Allah. Bukan karena yang lain-lain,” kataku dengan cepat.  


“Siap, Be. Besok aku ikut puasa. Mencari ridho Allah,” kata Robi dengan wajah serius.


Tiba-tiba Nedi bertepuk tangan. Dan tanpa dikomando, semua penghuni kamar 10 bertepuk tangan. Sesaat meninggalkan aktivitas makan malam.


“Kok pada tepuk tangan sih? Emang ada yang aneh?” ucap Robi yang tampak heran dengan aksi spontan kawan-kawan sekamarnya.


“Tepuk tangan ini tanda kebahagiaan, Robi. Tanda kami bersukacita sama keputusanmu itu. Tanda syukur kami sama Yang Di Atas. Karena kamu mulai dapet hidayah. Jangan salah nilai-lah,” jelas Nedi, sambil tersenyum.


“Oh gitu. Ya syukur. Kirain tepuk tangan tadi ngetawain keputusanku yang mau ikut puasa besok,” kata Robi. Kali ini dengan tersenyum lepas.


“Kamu itu harus ngerubah gaya mikir, Robi. Jangan gampangan apriori sama omongan atau perilaku orang,” tiba-tiba Dian menyela.


“Maksudnya apa ini, Dian? Kamu mau ngegurui aku, gitu,” sahut Robi. Mendadak nada suaranya meninggi.


“Nah, baru aku ngomong gitu aja kamu langsung emosi. Slow aja. Apa-apa itu dipikir dulu, baru diomongin. Jangan asal nyeplos. Maksudku ya itu. Kamu harus lebih sabar. Dengerin dulu baik-baik kalau ada yang ngomong. Ditelaah, apa maksud omongan itu. Ojo grusa-grusu,” urai Dian. Suaranya datar.  


“Ya gimana dong. Emang sudah gini bawaan dari bayi,” kata Robi, masih dengan nada tinggi.


“Wong sudah setua ini kok masih ngebanggain bawaan bayi aja to, Robi. Emangnya waktu bayi, kamu sudah garang gini yo. Aku kasih tahu ini buat kebaikanmu. Kalau gayamu kayak gini terus, nggak bakal punya temen. Malahan dimana-mana banyak musuh,” lanjut Dian, tetap dengan nada suara yang datar.


“Ya terus, mau kamu apa, Dian? Apa urusannya juga kamu nasihatin aku,” sahut Robi sambil matanya melotot menatap Dian.


Spontan, aku berhenti makan. Piring yang sebelumnya ditangan, aku taruh di lantai. Ku tatap Robi dengan mata nanar. Emosiku mulai tersulut.


“Robi, kalau kamu nggak mau dikasih tahu, sekarang aku tanya, mau kamu apa? Mau ngejago disini? Boleh juga kalau mau ngetes ilmu. Ayo, siapa di kamar ini yang mau ngejajal kehebatan Robi,” ujarku dengan nada tinggi.


Nedi, Hendri, Dian, dan Irfan mendadak berdiri. Menaruhkan piring makannya masing-masing. Mereka bersamaan menatap tajam ke arah Robi yang masih duduk.


“Perintahin kami ngegebukin Robi, Be. Kita buat dia nangis darah,” kata Nedi dengan suara bergetar, menahan emosinya yang juga sudah meletup. Darah militernya tersulut. 


“Ayo, bangun, Robi. Kamu kan jagoan. Pilih sama kamu di antara mereka berempat. Aku tanggung jawab kalau sampai petugas turun tangan,” kataku, sambil perlahan mundur dari tempat duduk saat makan, dan menyandarkan badan di tembok pemisah kamar mandi.


Robi hanya menundukkan wajahnya. Hasbi buru-buru merapihkan piring di lantai tempat kami makan. Dibantu Tomy dan Atmo.


Nedi beberapa kali memandangku. Menunggu perintah. Perlahan, ku anggukkan kepala.


Hanya dalam hitungan detik, kaki kanan Nedi langsung bergerak cepat. Brak. Darah segar muncrat dari bibir Robi. Hantaman kencang kaki Nedi tepat mengenai wajahnya. Badan Robi terguling. 


Tampak ia berusaha untuk bangun. Namun, Hendri dan Dian bergerak bersamaan. Mengangkat badan Robi dan membantingnya ke lantai dengan sekuat-kuatnya. Gedubrak.


Irfan mendadak menarik kaki kiri Robi dan melipatnya kencang-kencang. Mendudukinya. Hingga terdengar suara; kretek. Perlahan, suara Robi mengerang kesakitan. Meraung. 


Dian berlari mengambil kain pelpelan yang ada di kamar mandi. Menyumpalkan ke mulut Robi. Menahan erangannya, agar tidak terdengar sampai keluar kamar. 


“Ampun, ampuni aku. Tolong sudahi. Nggak kuat aku. Ampun,” kata Robi sambil terus mengerang kesakitan, begitu Dian menarik kain pelpelan dari mulutnya.


Mendadak, Hendri menghantamkan dengkul ke perut Robi dengan sekuat tenaga. Sontak, dari mulutnya muncrat darah segar dan bekas makanan yang baru saja ditelannya.


Setelah Robi berkali-kali meminta ampun, aku beri isyarat pada Nedi, Hendri, Dian, dan Irfan untuk menghentikan aksinya.


“Robi pingsan ini, Be,” kata Tomy setelah memegang badan Robi. Beberapa saat kemudian.


“Angkat dan taruh di tempat dia tidur. Biarin aja. Nanti juga sadar sendiri,” kataku.


Tomy dibantu Hasbi dan Atmo mengangkat badan Robi yang terkulai karena pingsan. Ditaruh di bidang tempatnya. Satu meter dari depan kamar mandi.


“Gimana kalau dia nggak sadar-sadar juga nanti, Be?” ucap Atmo dengan nada ketakutan.


“Siram aja pakai air satu ember,” sahutku. Enteng.


Setelah Hasbi membersihkan percikan darah Robi, aku minta semua penghuni kamar kembali ke tempatnya masing-masing. Aku merebahkan badan, dan meminta Irfan untuk memijat telapak kakiku. Tugas khusus buat Irfan untuk meninabobokkanku.


Suasana kamar 10 hening. Masing-masing terbawa dengan alam pikirnya sendiri. Hanya Nedi yang tampak masih gelisah. Belum terpuaskan syahwat marahnya. Ia duduk bersandar di pintu kamar sambil merokok. Klepas-klepus. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini