Balada Seorang Narapidana (Bagian 106)


Oleh, Dalem Tehang


TIDAK lama kemudian, Nedi keluar dari kamar mandi. Usai menghubungi keluarganya melalui telepon seluler milik petugas piket. 


Ia tampak terperangah melihat Robi yang bergerak pelan sambil menyeret kaki kirinya. Mendekat ke tempat aku dan Hendri, duduk.


Nedi memberi isyarat, meminta arahan. Aku hanya menggelengkan kepala. Setelah itu aku minta ia menyerahkan hp ke Hendri. Sesaat kemudian, terdengar suara Hendri menelepon seseorang sambil berjongkok di kloset kamar mandi.


Ku minta Nedi memanggil Hasbi, Atmo, dan Tomy. Tidak lama kemudian, ketiganya telah masuk kamar lagi. Acara ngangin mereka terpotong.


Pada saat bersamaan, muncul Nasir. Ia berdiri di pintu kamarku. Menatapku sambil tersenyum.


“Gimana, Nasir. Sehat aja kan,” sapaku.


“Alhamdulillah, om. Bisa ngobrol-ngobrol nggak ini, om,” kata dia.


Aku bergeser dari tempatku. Beralih duduk di tempat Nedi. Di dekat jeruji besi. Ku minta Nasir duduk juga.


“Jadi apa cerita sampai kamu masuk sini?” tanyaku pada Nasir setelah ia duduk.


Tampak ia merasa kurang nyaman untuk berbincang. Karena ada beberapa kawan di dalam kamar.


“Nggak apa-apa. Mereka semua kawan om. Apa yang jadi obrolan kita nggak bakal mereka bahas walau ngedenger juga,” ujarku, meyakinkan Nasir.


Belum lagi Nasir berucap, terdengar suara erangan kesakitan dari Robi. Aku lihat, saat itu ia tengah dibopong, dikembalikan ke tempatnya oleh Hasbi, Atmo, dan Tomy.


“Kalau ada yang punya balsem cincau, olesin dengkulnya yang mengsol itu,” kataku.


Mendengar aku memberi perhatian pada Robi, Atmo bergegas membuka tasnya. Mengambil obat-obatan. Hasbi dan Tomy juga membantu Robi. Memberi air minum. 


“Kenapa itu, om? Kayaknya bibirnya juga jontor dan ada darahnya?” tanya Nasir.


“Habis digebukin kawan-kawan. Bawaannya ngeyel, jadi pada kesel. Akhirnya kena bantai,” jelasku.


“Astagfhirullah. Pasti sakit bener itu rasanya, om. Mana kakinya itu kayaknya keseleo,” kata Nasir lagi.


“Ya resiko, Nasir. Kalau di sel nggak bisa berbaur dengan baik, bisa aja kena gebuk sampai setengah klenger gitu,” kataku sambil menekankan pada Nasir perlunya kekuatan mental.


“Alhamdulillah, Nasir bisa berbaur kok, om. Inshaallah nggak bakal ngalamin kayak gitu,” lanjutnya sambil memandang ke arah Robi yang ngegelosor.


“Berbaur itu bukan lahiriyah aja, Nasir. Tapi juga bisa ngeredem ego kita. Ngimbangin suasana hati dan karakter kawan-kawan. Ya ngebaur lahir batin gitulah maksudnya,” ujarku lagi.


“O iya, tadi om tanya kenapa Nasir sampai masuk sini ya. Panjang ceritanya dan nyakitin, om,” kata Nasir, kembali ke topik pembicaraan. 


“Kalau malah ngebuat kamu down, baiknya nggak usah cerita. Tapi kalau kamu rasa tetep nyaman, om siap dengerinnya,” ujarku, memberi pilihan pada Nasir.   


Aku lihat, Nasir tengah berpikir. Menimbang-nimbang. Dan beberapa saat kemudian, sambil meminta rokok yang aku taruh di antara kami duduk, ia menyatakan akan membuka cerita yang membawanya masuk ke penjara.


Nasir memulai ceritanya. Siang itu, seperti biasa, ia tengah berada di kampusnya. Usai mengikuti mata kuliah di fakultas hukum smester 7, ia ke kantin. Sambil makan siang, ia berbincang dengan sesama kawan satu angkatan, Makmur namanya.


Nasir dan Makmur berkawan karib. Sejak smester 1 hingga saat ini sama-sama smester 7. Di tengah-tengah makan siang, Makmur menerima telepon. Dan kemudian meminjam sepeda motor Nasir. Dengan alasan ada saudaranya dari kampung di terminal, baru turun dari bus.


Karena kawan akrab, Nasir pun langsung memberi kunci sepeda motornya. Makmur bergegas pergi. Sampai lebih dua jam Nasir menunggu di warung tempatnya makan, Makmur tidak datang-datang juga. Berkali-kali dihubungi, telepon selulernya tidak aktif.


Akhirnya, Nasir berpesan kepada pemilik warung, bila Makmur datang agar disampaikan kalau ia pulang. Dan Makmur diminta mengantarkan sepeda motornya ke rumah.


Sekitar satu jam sampai di rumah, Makmur datang. Ditemani seorang pemuda yang Nasir tidak mengenalnya.


“Waktu dateng itu Makmur bilang motor rusak dan ada di bengkel. Nanti sore dia akan ambil. Saat itu, Makmur kasih Nasir sebuah handphone. Kata dia, ini rejeki buatmu. Ya sudah, Nasir terima. Namanya juga rejeki. Dan setelah itu Makmur pamit. Berboncengan dengan kawannya,” urai Nasir dengan tenang.


“Terus cerita lanjutannya gimana?” tanyaku, asyik mendengarkan cerita Nasir.  


Nasir melanjutkan, tepat ia selesai solat Maghrib bersama papa, mama, dan adiknya, datang tiga orang polisi. Kepada keluarganya, polisi itu menjelaskan maksud kedatangannya.


“Emang kenapa?” tanyaku, penasaran.


“Polisi itu mau nangkep Nasir, om. Karena disangka Nasir terlibat aksi pencurian enam buah handphone di sebuah konter hp,” kata Nasir.


Ia menjelaskan, polisi mendatanginya karena sepeda motor Nasir tertinggal di depan konter hp yang disatroni dua pria muda. Sebab, aksi mereka diketahui penjaga konter, mereka langsung lari dan motor Nasir ditinggal. Diyakini, pelakunya adalah Makmur dan kawannya yang tadi datang ke rumahnya.


“Kan nyatanya kamu nggak berbuat, kok ditangkep juga?” tanyaku lagi.


“Ini masalahnya, om. Pertama, itu sepeda motor atas nama Nasir. Kedua, Nasir kan dikasih handphone sama Makmur, dan itu hasil curian. Jadi dianggep bekerjasama dalam kasus pencurian ini. Dan karena Makmur sama temennya belum ketangkep, Nasir yang diproses dan ditahan,” sambungnya. Kali ini suaranya  penuh kesedihan.


Aku hanya terdiam. Kian meyakini bila kehidupan memang memiliki beragam cerita yang penuh misteri. Yang tidak bisa diduga alurnya. 


“Apa kata papa kamu soal ini?” tanyaku, juga dengan nada sedih.


“Sejak awal dibawa ke kantor polisi, papa terus dampingi Nasir, om. Dia minta Nasir cerita apa adanya. Nggak boleh ngarang cerita. Tapi, proses hukum ya terus jalan. Mau kayak mana lagi, om,” ucap Nasir.


“Ya sudah, jalani aja dengan sabar dan ikhlas ya, Nasir. Inget pesen papamu agar kamu terus sabar. Yakini, jika bumi tidak mampu memberi solusi, masih ada langit yang tak pernah lelah berbagi. Pahamkan maksud om,” kataku sambil memeluk Nasir dengan rasa haru.


“Siap dan paham, om. Nasir mohon bimbingan om. Jujur om, papa nggak khawatirin Nasir disini karena tahu disini ada om,” kata Nasir kemudian.


“Emang om ini siapa? Sama-sama tahanan kayak kamu, Nasir. Nggak ada lebihnya,” sahutku. Menepis ekspektasinya yang mungkin terlalu tinggi.


“Kalau kata papa, om itu punya banyak kelebihan yang orang lain nggak punya. Ada aja jalannya kalau om sudah mau berbuat,” kata Nasir, seulas senyum sudah kembali ia pertontonkan. Pertanda hatinya telah kembali tenang.    


“Papa kamu itu emang pinter ngemuji orang, Nasir. Tapi sudahlah, kita sudah sama-sama disini, saling jaga aja. Om pasti jagain dan titipin kamu ke kawan-kawan, juga ke petugas piket. Pakailah ilmu tahu diri,” lanjutku.


“Maksudnya ilmu tahu diri itu gimana, om?” tanya Nasir, mengernyitkan dahinya.


“Ya tahu diri aja, status kita disini sebagai apa. Ikuti aturan yang ada dengan baik. Berbaur dengan sesama tahanan yang luwes. Tanggalin semua cerita kehidupan waktu diluar sana. Nikmati dan jalani hari-hari disini dengan senang hati. Itu aja kuncinya, dan om yakin kamu bisa,” uraiku panjang lebar.     


Nasir menganggukkan kepalanya. Anak muda ini kelihatan memiliki kecerdasan yang terasah. Sama dengan papanya, Nasrul. Sahabatku saat kuliah dulu. 


“Ngomong-ngomong bisa kan om kalau Nasir ikut om di kamar ini,” ucapnya beberapa saat kemudian.


“Nanti om bicarain dulu dengan kawan-kawan ya, Nasir. Juga sama komandan disini. Kan kita disini tahanan, jadi harus ikuti alur yang ada dengan baik kalau nggak mau bermasalah,” sahutku. 


Saat Nasir berpamitan untuk kembali bergabung dengan kawan-kawan yang tengah ngangin di selasar, aku pesankan bila papanya datang, beritahu aku.


“Pastilah, om. Kemarin aja papa sebenernya mau langsung ketemu om. Cuma kata petugas piket, om lagi istirahat dan nggak bisa diganggu,” ujar Nasir sambil tersenyum. Kini wajahnya kembali ceria. Ada rona semangat disana. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini