Balada Seorang Narapidana (Bagian 109)


Oleh, Dalem Tehang


AKU nggak ditanya ya, Nedi?” tiba-tiba Robi membuka suara.


Nedi memandangku, sesaat. Dan kemudian, menatap kawan-kawan penghuni kamar lainnya. Semua hanya mengangkat bahu.


Pada saat bersamaan, seorang tamping berdiri di depan jeruji besi. Aku berdiri dari tempat merebahkan badan. Meminta dibukakan pintu. Sesaat kemudian, aku berjalan menuju pos penjagaan.


Aku berbincang serius dengan tiga petugas penjaga tahanan. Meminta Robi dipindahkan ke kamar 6, dan Nasir ditarik ke kamarku. Setelahku ceritakan persoalan yang sempat timbul antara Robi dengan penghuni kamar yang lain.


“Oke, kalau pertimbangan kap demi tetap harmonis dan tenangnya kamar. Kami siap eksekusinya,” kata seorang petugas jaga.


Aku minta seusai solat Ashar, proses pemindahan sudah dilakukan. Dan sebelum meninggalkan pos, ku gimel-kan dua lembar uang ke tangan petugas. Sepemahaman itu memang indah.


Saat kembali menuju kamar, aku berhenti di kamar 6. Ku panggil Nasir. Ku minta ia bersiap untuk nanti pindah ke kamarku. Juga ku beritahu Yosep sebagai kepala kamarnya. Dan setelahnya, aku melapor kepada Bagus sebagai kepala blok.


“Emang nggak bisa dibina lagi tah si Robi itu, Be?” tanya Bagus, saat aku uraikan permintaan untuk pemindahan penghuni kamar.


“Kita disini kan bukan pengasuh anak, Gus. Yang pasti, Robi sudah sulit buat nyatu lagi. Ketimbang dia ngerasa tertekan, lebih baik pindah kamar. Dan aku juga nggak mau dibebani sama hal-hal yang sebenernya bukan bebanku. Aku disini pengen tetep bisa gembira. Nah, ketimbang Robi ngeganggu kegembiraanku sama kawan-kawan, lebih baik dia dipindahin aja,” kataku, panjang lebar.


“Aku sepakat kalau Babe niatnya baik. Karena kalau kita terus pelihara niat baik, inshaallah kita juga akan terus ada dalam keadaan baik,” sahut Bagus, sambil mengacungkan kedua jempolnya. 


Baru saja kami selesai Asharan, seorang tamping memanggilku. Untuk segera ke pos penjagaan.


“Ada penyidik, om. Mau di-bond,” kata tamping itu. 


Sesampai di pos penjagaan, aku diminta berbicara dengan penyidik, Budi, di ruang dalam pos penjagaan.


“Sehat-sehat ya, pak Mario. Mau memberitahu saja, rencananya dua hari lagi pak Mario akan pelimpahan. Tadi saya sudah koordinasi dengan jaksa,” tutur penyidik Budi.


“Alhamdulillah, saya sehat-sehat, pak Budi. Terimakasih atas semuanya. Saya siap kapan saja menjalani pelimpahan,” sahutku.


Hanya beberapa menit saja aku dan penyidik Budi berbincang. Setelahnya, ia kembali ke ruang kerjanya. Di gedung dua tingkat yang berdiri megah di samping gedung utama Mapolres.


“Bagaimana, kap. Apa sekarang eksekusi pemindahan tahanan? Atau menunggu komandan untuk melapor terlebih dahulu?” tanya seorang petugas piket.


“Mana bagusnya saja. Menunggu pak Rudy datang dan melapor, juga siap. Mau dilakukan sekarang, juga tidak masalah,” kataku. 


Tampak tiga petugas jaga itu berdiskusi. Lama dan bertele-tele. Karena terlalu banyak pertimbangan, akhirnya aku mohon diizinkan untuk bicara langsung dengan pak Rudy, komandan tahti.


Melalui telepon seluler seorang petugas piket, aku sampaikan rencana memindahkan tahanan dan menarik tahanan lain, dengan menjelaskan latar belakang masalahnya.


“Kalau itu pertimbangannya, saya setuju, pak Mario,” kata pak Rudy, yang kemudian memberikan perintah kepada petugas jaga untuk melakukan eksekusi.


Dua petugas jaga didampingi tamping melakukan proses pemindahan tahanan. Robi dipindah dari kamar 10 ke kamar 6, dan Nasir sebagai gantinya. Tukar guling. Kurang dari 15 menit kemudian, mereka telah kembali ke pos penjagaan.


”Sudah dilaksanakan, kap,” kata seorang petugas jaga. Dan setelah menyalami yang bertugas, aku kembali ke kamar.


Sesampai di kamar, aku lihat Nasir sedang mengenalkan diri dengan penghuni yang  lain. Ku arahkan ia menempati bidang yang ditinggalkan Robi.


“Atmo, kamu jelasin sama Nasir apa aja kewajiban di kamar ini,” ujarku.


Dengan singkat, Atmo menjelaskan seluruh ketentuan di kamar 10. Dan Nasir menyanggupinya.


“Untuk rokok tiga bungkus sebagai tanda perkenalan, nanti malem beli pas ada cas-cas-an ya, om,” kata Nasir pada Atmo. Dan saat itu juga, Nasir menyerahkan uang kamar sebesar Rp 600.000 untuk satu bulan.


Puasa sunah hari ini terasa sangat haus, karena hampir seharian matahari mengeluarkan sinar teriknya. Aku pun mandi sore lebih lama dibanding biasanya. Beberapa kali membasahi badan agar dingin airnya meresap hingga ke dalam tulang. 


Ku dengar pintu kamar dibuka. Dan suara tamping menyerahkan beberapa barang. Ada sedikit obrolan. Saat aku selesai mandi, baru terjawab. Ternyata tamping tadi membawa kiriman istriku untuk kami buka puasa bersama.


“Kata tamping, tadi yang nganter sopirnya, Be. Tapi langsung pulang,” jelas Hasbi, begitu aku keluar kamar mandi.


“Alhamdulillah. Langsung kamu atur buat kita buka puasa ya, Hasbi,” kataku. 


Seusai aku mandi, penghuni kamar pun bergantian membersihkan badannya. Dan kemudian semua duduk rapih menunggu adzan Maghrib tiba. Waktunya berbuka puasa.


“Nanti kamu juga harus ikut puasa ya, Nasir. Hari ini, kamu tetep boleh ikut makan bareng,” kataku pada Nasir, yang dengan ringan tangan membantu tugas Hasbi menaruhkan panganan kecil pembuka untuk berbuka puasa. Ada kurma, martabak, juga gorengan.


“Siap, om. Nasir juga selama ini sudah biasa puasa sunah Senin dan Kamis kok,” sahut Nasir sambil tersenyum.


Begitu adzan Maghrib menggema, kami pun berbuka puasa. Minum air putih dan menikmati panganan kecil. Dan tentu saja menyedot sebatang rokok. Kemudian langsung solat jamaah dan belajar mengaji Juz Amma hingga Isya.


Setelah solat Isya berjamaah, baru kami makan besar. Istriku Laksmi mengirim 10 bungkus nasi Padang dengan lauk beragam. Ada rendang, ayam goreng, telor dadar, hingga kepala ikan simba yang menjadi kesukaanku. 


Saat kami masih makan, apel malam digelar. Semua meninggalkan makanannya. Berdiri rapih dan menyebut posisi berdiri sesuai dengan jumlah penghuni kamar.


“Yang namanya Nasir mana?” tanya seorang petugas piket. Nasir mengangkat tangannya.


“Habis makan nanti, ke pos ya. Ada pengacaranya datang,” lanjut petugas itu. Nasir menganggukkan kepalanya.


Setelah membantu Hasbi membersihkan kembali tempat makan, juga mencuci piring dan gelas, Nasir meminta tamping untuk membukakan pintu. Untuk dia ke pos penjagaan seperti yang dipesankan petugas piket.


“Izin ya, om,” ucap Nasir saat akan keluar kamar, menatapku. Aku hanya menganggukkan kepala.


Sambil menyandarkan badan di tembok pembatas kamar mandi, aku asyik menikmati kopi pahit dan rokok dengan hati riang gembira.


“Babe kayaknya happy bener,” kata Tomy dan bergerak mendekat ke posisiku.


“Ya happy-lah, Tom. Dikasih Allah kekuatan dan inshaallah keberkahan bisa puasa sampai buka dengan baik. Ini kenikmatan yang luar biasa buatku,” ujarku.


“Emang Babe puasa sunah baru di penjara ini ya?” tanya Hasbi. Aku menganggukkan kepala, sambil tersenyum.


“Luar biasa. Ini namanya sengsara membawa nikmat itu, Be,” lanjut Hasbi, dan kembali menunjukkan senyum tulusnya.


“Bukan gitu bahasanya kalau nurut gurumu, ustad Rusdi, Hasbi. Tapi azab membawa hidayah,” sahut Tomy, menyela.


“Nah, itu yang pas. Aku setuju sama omongan Tomy. Biar kita di penjara ini bener-bener sadar diri. Ngebagusin hati dan pikiran. Belajar dan ngamalin ajaran agama,” ucap Nedi. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini