Balada Seorang Narapidana (Bagian 118)


Oleh, Dalem Tehang

 

OM, siapa yang gantiin sebagai kepala kamar, setelah om pelimpahan?” mendadak Nasir mengajukan pertanyaan.


“Terserah kalian. Prinsipnya yang bisa ngayomi semua penghuni kamar,” sahutku. Pendek.


“Saran aja ini, om. Baiknya om yang nentuin. Kalau digelar terbuka, kami takut malah pecah-belah,” lanjut Nasir.


“Maksudnya pecah-belah gimana?” tanyaku.


“Gini lo, Be. Kan banyak yang senior di kamar. Dan kasusnya juga serem-serem. Perampokan, tabrak lari, dan sebagainya. Kayaknya, mereka itu belum nyatu bener. Takutnya nanti malah kejadian yang nggak baik. Kalau om yang nunjuk, kami yakin mereka nurut,” ucap Tri, menjelaskan maksud Nasir.


“Aku paham maksud kalian. Tapi perlu diinget, urusan kamar di penjara nggak kayak kerajaan. Main tunjuk atau turun temurun. Justru aku diajari untuk berdemokrasi disini. Siapa yang paling pas, itu yang jadi kepala kamar. Dan semua harus patuh juga taat kalau sudah kepilih kepala kamar. Apapun kata dia, wajib diikuti,” jelasku.


“Itu masalahnya, om. Kami yang muda-muda ini belum ngelihat yang bisa disegeni di kamar kita,” Nasir kembali membuka suara.


“Santai ajalah kalian. Nanti juga bakal hadir sosok kepala kamar yang disegeni. Situasi dan kondisi tertentu pasti ngelahirin pemimpinnya. Nggak usah gupek. Dinikmati aja kehidupan disini. Dibawa enjoy dan enteng aja,” ujarku lagi.


Seorang tamping mendekat. Memberitahu Hasbi dipanggil ke pos penjagaan. Bergegas santri hafal qur’an itu berdiri dan berjalan berdampingan dengan tamping. Batinku berucap jika Hasbi akan menjalani pelimpahan atas perkaranya.  


“Apa Hasbi mau pelimpahan ya, om?” tanya Nasir sambil memandangiku dengan tatapan serius. 


Aku hanya angkat bahu. Tidak berani menyampaikan suara pelan yang sempat terdengar di batinku. Karena menyadari, tidak ada sesuatu pun di atas bumi ini yang lebih membutuhkan waktu panjang untuk dipenjara daripada lisan.


“Babe, gimana caranya taubat itu? Aku pengen bener bisa solat rutin, juga ngaji,” kata Tri, tiba-tiba.


“Lakuin dulu solat taubat dengan sepenuh hati. Bener-bener hanya karena Allah. Sadari semua kesalahan dan janji nggak ngulangi lagi. Terus, lakuin hal-hal yang diperintah dan jauhi yang dilarang-Nya. Sederhana aja kok,” sahutku, dengan santai.


“Tapi bener taubat kita akan diterima kalau sungguh-sungguh ya, Be,” lanjut Tri.


“Ya benerlah, Tri. Allah itu maha pengampun dan maha penyayang. Dan aku pernah baca, surga itu dipenuhi sama pendosa yang bertaubat, sedang neraka diisi oleh orang-orang alim yang munafik. Jadi taubatnya kita-kita yang pendosa ini memang ditunggu sama Allah. Jangan kamu tunda kalau sudah punya niat taubat,” uraiku kemudian.


“Pesen Babe buat kami bertiga ini apa. Untuk kami jadiin pegangan ke depannya,” kata Danu, menyela.


“Kalian harus bangga. Di usia yang masih muda sudah dapet pengalaman sepahit ini. Pengalaman ini harus jadiin kalian manusia tangguh dan baik serta berprestasi. Raih masa depan kalian yang gemilang dengan kekuatan mental dan fisik yang sudah teruji. Dan karena kalian sudah ngalami masuk penjara itu sakitnya luar biasa, hindari lakuin hal-hal yang bisa jerumusin kalian masuk sini lagi,” ucapku sambil memandang Danu, Nasir, dan Tri dengan serius.


“Jadi yang pertama-tama, kami harus bangga dengan pengalaman nggak ngenakin ini ya, Be,” ujar Tri.


“Iya, apapun ceritanya, jadiin masuk penjara sebagai sebuah kebanggaan. Itu lebih positif dampaknya buat mental, psikis, dan fisik kita. Nggak ada gunanya ngeluh apalagi nyeselin kenyataan ini. Jalani dengan penuh kebanggaan dan terus pupuk percaya diri kalian. Kalahkan kekerasan dan kekejaman penjara dengan ketegaran mental dan kedekatan kalian sama Yang Maha Kuat, sang pencipta kita,” tuturku dengan penuh semangat. 


Kami lihat Hasbi berjalan dari pos penjagaan dengan tergopoh-gopoh. Dia langsung duduk di tempatnya semula.


“Maaf, Be. Saya pelimpahan sekarang. Sudah ditunggu penyidik,” kata dia dengan suara tercekat. Tampak ada keterkejutan yang sangat di wajahnya. 


“O gitu. Alhamdulillah. Disyukuri, Hasbi. Ya sudah, siapin pakaianmu,” sahutku dan meminta Nasir memanggil Atmo.


“Itu Hasbi mau pelimpahan sekarang. Beliin nasi uduk yang dijual di pos penjagaan. Kasih lauk telor bulet. Juga kasih dia uang pegangan Rp 100.000,” kataku pada Atmo, setelah bendahara kamar itu berdiri di dekat kami duduk ndeprok.


Sambil masih melongo penuh keterkejutan, Atmo bergerak. Mengambil uang kas kamar dan berlari ke pos penjagaan. Menemui penjaja sarapan yang biasa mangkal disana. 


Tidak berselang lama, Atmo kembali berjalan menuju kamar. Ditangannya ada bungkusan kecil. Nasi uduk dengan lauk telor bulet.


“Nurut cerita kawan-kawan, kalau ada yang pelimpahan, om selalu bekali mereka nasi bungkus dengan lauk telor bulet. Kenapa harus telor bulet, bukan lauk yang lain ya, om,” tanya Nasir, beberapa saat kemudian.


“Sebenernya nggak ada maksud tertentu sih, Nasir. Mungkin karena om suka makan telor bulet aja,” sahutku sambil tertawa.


“Tapi kalau kata papa, hampir semua yang om lakuin dengan terus-menerus, pasti ngandung filosofi atau ada maknanya. Bukan gitu om,” ucap Nasir lagi. Matanya yang tajam memandangiku dengan serius.


“Papa kamu aja yang bisa-bisaan. Soal telor bulet itu, kebetulan aja. Walau emang ada maksudnya juga sih,” kataku kemudian, juga masih dengan tertawa.


“Nah, maksudnya itu apa, Be?” Danu menyela.


“Telor itu kan keluar dari pantat ayam. Dari tempat yang kotor. Yang harus dieremin dulu, baru bisa keluar atau netes anak ayamnya. Butuh proses panjang. Sekitar tiga pekan. Dan cuma telor yang nggak pecah alias tetep bulet aja yang akhirnya sukses keluar jadi anak ayamnya. Gitu juga proses kehidupan kita ini. Sekarang kita hidup di penjara, anggep aja tempat yang kotor dan lagi dieremin. Hingga nanti kita lahir dengan sempurna. Jadi anak ayam yang nggemesin, yang nyenengin siapapun yang ngelihatnya, dan tentu bakal membesar. Putaran kehidupan pasti terjadi. Itu kali makna filosofinya ya,” uraiku, masih dengan tertawa.


“Bener kan kata papaku. Kalau om Mario lakuin sesuatu dengan terus-menerus, pasti ada makna dibaliknya. Nggak asal sebut atau lakuin aja,” tanggap Nasir, dan ikut tertawa.


Hasbi keluar kamar dan berpamitan. Kami semua menyalami dan memeluknya. Kami hantarkan dia sampai ke pos penjagaan. Tampak ada air di matanya. Rona kesedihan.


“Jangan sedih dan ngerasa sendiri ya, Hasbi. Inshaallah aku segera nyusul kamu,” kataku setengah berbisik saat memeluk santri yang seharusnya menjadi mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo itu. 


Setelah melepas Hasbi, aku buru-buru mandi. Dan menyiapkan barang-barangku. Jika sewaktu-waktu diberitahu akan dilakukan pelimpahan perkara ke kejaksaan, aku sudah siap. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini