Oleh Prof. Admi Syarif, PhD
Ulun lappung atau manusia Lampung memang sangat kaya akan beragam tradisi, ritual, dan upacara adat. Meski dengan berbagai keberagaman adat istiadat, bahasa, Lampung sejak dulu sepakat berhimpun dalam satu semangat Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai.
Berbagai tradisi warisan dalam adat Lampung memang sangat kental pengaruh akulturasi budaya, terutama Islam. Hal ini tampak dari beberapa tradisi yang mereka lakukan, mulai dari tradisi perkawinan, kelahiran, lebaran, hingga kematian.
Ketika masih kanak-kanak, tradisi mudik lebaran alias mulang tiyuh selalu kami lakukan. Biasanya keluarga kami selalu memilih mudik setiap saat musim lebaran. Seminggu sebelum lebaran biasa ibunda sudah sibuk menyiapkan berbagai kue seperti dodol ketan; juadah bakkit kering dan bolu untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Kami biasanya berangkat pukul 04:00 pagi hari; setelah sholat subuh. Masih teringat, kami mengendarai "oplet" jip willys bak kayu buatab tahun 1944, milik ayah saya. Oplet warna kuning yang diberi Merk "Giliran" itu dipenuhi keluarga dan berbagai oleh-oleh seperti gula pasir, garam, sabun batangan atau sabun mandi Lux. Biasanya kami tiba di Bandar Jaya sekitar pukul 06:00 pagi dan singgah sejenak untuk membeli oleg-oleh wajib dari Bandar Jaya, setelo biru atau mantang. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dan berhenti di sungai Kayu Palis untuk sarapan di pinggir sungai. Air sungai yang jernih membuat sarapan terasa sangat nikmat sambil mandi berenang. Admi kecil saat itu akan sangat bergembira bersama keluarga. Perjalanan kami lanjutkan melewati Menggala, panaragan dan biasanya tiba di kampung siang atau sore hari.
Betapa senangnya hati ketika tiba, bertemu kerabat dan keluarga besar, bersama menyambut lebaran. Kami biasa mulai bersenda gurau melepas kangen sambil berbagi oleh-oleh dan menikmati "setelo pajak (mantang rebus)", yang kami beli di Bandar Jaya. Keluarga di kamoung biasanya datang ke rumah membawa berbagai jeinis ikan yang sudah mereka kurung. Saat itu, keluarga biasanya memang kumpul semua.
Malam tiba, mulailah kami makan malam dengan menu seruit. Lalapnya tentu saja ada umbuk alias "rotan muda" kesukaan saya. Delan (terasi) nya juga pasti delan Menggalo.
Lebaran merupakan saat bujang-bujang (menganai) menunjukan keseriusannya kepada sang pujaan hati (kehagou) dengan cara bekahadeu. Gadis-gadis (Mulei) di kampung biasa memiliki empat atau lima pacar/kahago dan semuanya mungkin datang bekahadeu makan bersama saat lebaran.
Istilah "bekehadeu" adalah si bujang membawa berbagai bahan makanan lengkap seperti ikan, ayam atau kambing untuk keluarga gadis. Makanan itu dimasak dan kemudian dimakan bersama semua pacarnya. Ini unik, karena meskipun memiliki pacar lebih dari satu mereka semua akur berebut hati sang pujaan hati.
Budaya unik lain saat Syawal adalah 'Bebaco lebaran". Bebaco adalah tradisi turun-temurun dihari lebaran hingga saat ini masih tetap berlangsung, terutama di kampung-kampung tua. Urauan bebaco memiliki makna undangan kepada kerabat atau terangga di kampung (tiyuh) pada Lebaran atau bertepatan dengan 1 Syawal. Bebaco ini diisi dengan doa bersama sebagai wujud syukur. Pelaksanaan bebaco biasanya seusai sholat ied yang dilakukan oleh jemaah, berrkeliling kerumah-rumah memenuhi undangan bebaco.
Usai bebaco dan saling mendoakan agar ibadah selama ramadhan diterima, mereka bersilaturahmi, berbicara, mengobrol saling bermaafan, sambil menikmati hidangan khas Lebaran, seperti kue bakkit kering, kue legit, dodol ketan hitam, segubal, hingga opor ayam.
Eratnya ikatan persaudaraan ulun Lampung sangat tampak dalam tradisi bebaco lebaran pada rumah-rumah di kampung.
Budaya bebaco ini dapat dilihat sebagai cara ulun Lappung mengutamakan tetangga atau kerabat terlebih dahulu sebelum keluarga dekat sekalipun. Budaya yang merupakan perwujudan falsafah nengah nyampor-nya ulun Lampung sangat pantas kita lestarikan dan teladani.
*) Prof. Admi Syarif, PhD.,
Warga Tiyuh Gunung Katun, Tulang Bawang Udik