Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pasal 64 mengatur penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain. Disebutkan bahwa
“satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan
ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik
Indonesia.”
Pasal 65 Ayat 1 berbunyi: “lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang
diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ayat 2,
“Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan
pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia.”
Ayat 3, “Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga
pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga
pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia.” Ayat 4, “Kegiatan pendidikan yang
menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Aturan di atas menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Dalam
konteks masuknya pendidikan asing harus menggandeng mitra lokal. Syarat utama
pendidikan asing ke Indonesia adalah melakukan afiliasi dengan pendidikan lokal.
Liberalisasi pendidikan di Indonesia berlaku untuk semua jenjang pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi. Kendati demikian, masyarakat harus selalu mengawasai dan waspada
terhadap pemerintah dalam menyeleksi akreditasi institusi lokal maupun yang institusi
pendidikan asing.
Liberalisasi yang ditawarkan Indonesia adalah liberalisasi bersyarat. Perguruan tinggi
asing yang akan beroperasi di Indonesia harus bekerjasama dengan lembaga pendidikan
dalam negeri yang terakreditasi dan mereka hanya boleh memiliki saham atau modal
maksimal empat puluh sembilan porsen (49%). Masuknya pendidikan asing diharapkan
dapat membawa manfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan, memperluas jaringan
dan peningkatan kualitas pendidikan dan juga untuk menekan biaya pendidikan bertaraf
internasional, tetapi yang terjangkau oleh masyarakat Indonesia.
Liberalisasi mestinya dapat menggambarkan prinsip-prinsip yang menekankan
kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang menindas.
Makna liberal yang paling mendasar sesungguhnya kebebasan dan pembebasan harus
lebih tercermin, khususnya dalam bidang pendidikan. Bagi yang kontra dengan liberalisasi
pendidikan berpendapat bahwa liberalisasi hanya menguntungkan negara kaya. Padahal
sebagian besar masyarakat Indonesia tidak termasuk golongan kaya atau golongan yang dapat
menyelenggarakan internasionalisasi pendidikan dan menjadi sasaran pasar.
Hadirnya globalisasi dan keberadaan para kapitalis untuk masuk ke dalam praktek
pendidikan nasional, karena proses globalisasi yang melanda seluruh belahan dunia.
Perguruan tinggi mengalami transformasi secara pesat, lembaga pendidikan tidak bisa lepas
dari arus global, institusi pendidikan semakin terintegrasi dengan dunia global. Mereka
mengalami persinggungan dengan transnationalization of communication (transnasionalisasi
komunikasi), pasar dan uang sebagai modal.
Muncul kekhawatiran masuknya liberalisme ke dalam alam berpikir dan konsep
pendidikan nasional, dicurigai dapat menghilangkan kekhasan pendidikan Indonesia. Di lain
pihak, liberalisasi pendidikan diyakini dapat mendorong daya kompetisi pendidikan dalam
negeri di panggung internasional.
Corak liberalisme sudah terlihat dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang dibuat, baik
dalam kategori rencana maupun yang sudah diputuskan pemerintah. Standardisasi nasional
pendidikan, badan hukum pendidikan dan lainnya yang berujung terjadinya diskriminasi
dalam pendidikan, termasuk pembedaan jalur pendidikan antara jalur mandiri bagi yang
berpunya dan jalur standar bagi yang miskin.
Globalisasi mendorong liberalisasi dalam dunia pendidikan. “Liberalisasi mau tidak
mau harus dilakukan karena Undang-undang yang ada memperbolehkan hal itu, Indonesia
memang sudah terlanjur mengikuti jalur bengkok dalam masalah pendidikan. Jika ingin
kembali lurus adalah dengan kembali ke Undang-undang Dasar 1945.
Dampak globalisasi yang paling signifikan di bidang pendidikan adalah semakin
berkurangnya peran negara terhadap tata kehidupan bangsanya. Dalam pendidikan, kini
pemerintah melepas tangan dengan memberikan porsi peranserta yang lebih besar bagi
masyarakat.
Dalam Pasal 54 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa peranserta
masyarakat dalam pendidikan dapat dilakukan secara perseorangan maupun kelompok.
Dengan begitu, kompetisi bukan hanya terjadi antar sekolah, tapi juga antar unsur dan
pengelola institusi pendidikan di dalamnya. Keterbukaan dan kebebasan yang penuh
kompetisi itu dapat menurunkan etika dalam dunia pendidikan karena bisa jadi banyak pihak
yang mementingkan kemenangan dalam persaingan.
Kebebasan dan persaingan dalam dunia pendidikan dibutuhkan agar pendidikan di
Indonesia tidak semakin tertinggal. Indonesia justru dianjurkan untuk mengikuti common
practice (melaksanakan standar dan prosedur baku) yang berlaku secara global. Pemerintah
harus menyiapkan kebijakan yang strategis, cerdas dan antisipastif dalam menghadapi
arus globalisasi yang telah merambah pendidikan nasional. Berbagai dampak dari proses
liberalisasi dalam dunia pendidikan itu meliputi berkurangnya tanggungan pendanaan dari
pemerintah terhadap sekolahan.
Dampak berikutnya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
relevan dengan kepentingan globalisasi akan semakin meningkat. Lapangan pekerjaan juga
akan semakin sesuai dengan basis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Kemudian,
semakin mendesaknya bentuk baru pengembangan pengelolaan institusi pendidikan yang
efektif dan efisien dalam merespons dinamika sosial.
Proses pendidikan bukan hanya transformasi pengetahuan, tetapi juga membentuk
watak dan moral seseorang dan masyarakat. Penyelenggara pendidikan diharapkan tidak
mengabaikan watak dan moralitas itu, karena di situlah letak pembentukan nilai edukasi.
Bukan hanya individu yang penuh keterampilan teknis dan profesional saja yang diharapkan
menjadi out put pendidikan, tetapi juga mampu berkembang sebagai manusia utuh dan
memiliki tanggung jawab sosial. Juga diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan
berperilaku manusiawi. Meskipun, pada dasarnya liberalisasi menjadi sebuah keniscayaan.
Forum Rektor Indonesia (FRI, 2007) menolak liberalisasi pendidikan dengan alasan
bahwa Indonesia belum siap melakukan liberalisasi pendidikan. Pendidikan merupakan
cara pembentukan karakter bangsa berkenaan dengan keteladanan terhadap nilai dan
budaya bangsanya. Permasalahan yang muncul akibat liberalisasi pendidikan dikategorikan:
Pertama, terjadinya benturan budaya. Pada saat pendidikan diserahkan pada pihak asing,
maka secara langsung pengaruh budaya luar akan mengusik dunia pendidikan. Apalagi kalau
sampai masuk dalam kehidupan masyarakat kita, sehingga akan terjadi kontraproduktif antara
budaya lokal dengan budaya asing, karena pendidikan berada dalam wilayah budaya.
Kedua, terjadinya polarisasi ideologi. Ideologi adalah jati diri atau karakter suatu
bangsa, ketika terjadi liberalisasi akan pergeseran karakter bangsa karena perubahan ideologi
dan masyarakat. Masuknya ideologi asing juga akan merubah tatanan kehidupan dan pola
pikir masyarakat.
Ketiga, terjadinya distorsi kepentingan. Setiap terjadi perubahan kebijakan dengan
sendirinya akan terjadi pergeseran kepentingan. Ketika liberalisasi pendidikan diberlakukan,
orientasi pendidikan akan berubah secara otomatis mengikuti pola pendidikan yang dibawa
masuk oleh pihak asing. Aspek ekonomi juga akan berpengaruh, manajemen juga akan
menyesuaikan dengan kepentingan pasar yang berkembang dan cenderung mengejar
keuntungan.
Liberalisasi pendidikan dapat membuka akses bagi pemilik modal besar untuk
mendiktekan kepentingannya. Mereka memandang peserta didik sebagai sumber daya demi
kepentingan bisnis atas dana yang dikeluarkannya. Dalam menghadapi situasi seperti ini,
watak pendidikan harus tetap dijaga untuk tetap mengutamakan pencarian kebenaran sebagai
upaya memanusiakan manusia yang menjadi fundamental pendidikan.
Masuknya kekuatan pasar, budaya korporasi dan kekuatan industri dapat merubah
arah pendidikan, sehingga akan terjadi pergeseran dari etika dan moralitas pendidikan
menjadi etika dan moral bisnis yang mengutamakan pencarian keuntungan yang efektif dan
mengejar efisiensi. Akuntabilitas yang berlaku bisa saja akuntabilitas pemilik modal.
Pasal 64 mengatur penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain. Disebutkan bahwa
“satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan
ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik
Indonesia.”
Pasal 65 Ayat 1 berbunyi: “lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang
diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ayat 2,
“Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan
pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia.”
Ayat 3, “Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga
pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga
pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia.” Ayat 4, “Kegiatan pendidikan yang
menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Aturan di atas menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Dalam
konteks masuknya pendidikan asing harus menggandeng mitra lokal. Syarat utama
pendidikan asing ke Indonesia adalah melakukan afiliasi dengan pendidikan lokal.
Liberalisasi pendidikan di Indonesia berlaku untuk semua jenjang pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi. Kendati demikian, masyarakat harus selalu mengawasai dan waspada
terhadap pemerintah dalam menyeleksi akreditasi institusi lokal maupun yang institusi
pendidikan asing.
Liberalisasi yang ditawarkan Indonesia adalah liberalisasi bersyarat. Perguruan tinggi
asing yang akan beroperasi di Indonesia harus bekerjasama dengan lembaga pendidikan
dalam negeri yang terakreditasi dan mereka hanya boleh memiliki saham atau modal
maksimal empat puluh sembilan porsen (49%). Masuknya pendidikan asing diharapkan
dapat membawa manfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan, memperluas jaringan
dan peningkatan kualitas pendidikan dan juga untuk menekan biaya pendidikan bertaraf
internasional, tetapi yang terjangkau oleh masyarakat Indonesia.
Liberalisasi mestinya dapat menggambarkan prinsip-prinsip yang menekankan
kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang menindas.
Makna liberal yang paling mendasar sesungguhnya kebebasan dan pembebasan harus
lebih tercermin, khususnya dalam bidang pendidikan. Bagi yang kontra dengan liberalisasi
pendidikan berpendapat bahwa liberalisasi hanya menguntungkan negara kaya. Padahal
sebagian besar masyarakat Indonesia tidak termasuk golongan kaya atau golongan yang dapat
menyelenggarakan internasionalisasi pendidikan dan menjadi sasaran pasar.
Hadirnya globalisasi dan keberadaan para kapitalis untuk masuk ke dalam praktek
pendidikan nasional, karena proses globalisasi yang melanda seluruh belahan dunia.
Perguruan tinggi mengalami transformasi secara pesat, lembaga pendidikan tidak bisa lepas
dari arus global, institusi pendidikan semakin terintegrasi dengan dunia global. Mereka
mengalami persinggungan dengan transnationalization of communication (transnasionalisasi
komunikasi), pasar dan uang sebagai modal.
Muncul kekhawatiran masuknya liberalisme ke dalam alam berpikir dan konsep
pendidikan nasional, dicurigai dapat menghilangkan kekhasan pendidikan Indonesia. Di lain
pihak, liberalisasi pendidikan diyakini dapat mendorong daya kompetisi pendidikan dalam
negeri di panggung internasional.
Corak liberalisme sudah terlihat dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang dibuat, baik
dalam kategori rencana maupun yang sudah diputuskan pemerintah. Standardisasi nasional
pendidikan, badan hukum pendidikan dan lainnya yang berujung terjadinya diskriminasi
dalam pendidikan, termasuk pembedaan jalur pendidikan antara jalur mandiri bagi yang
berpunya dan jalur standar bagi yang miskin.
Globalisasi mendorong liberalisasi dalam dunia pendidikan. “Liberalisasi mau tidak
mau harus dilakukan karena Undang-undang yang ada memperbolehkan hal itu, Indonesia
memang sudah terlanjur mengikuti jalur bengkok dalam masalah pendidikan. Jika ingin
kembali lurus adalah dengan kembali ke Undang-undang Dasar 1945.
Dampak globalisasi yang paling signifikan di bidang pendidikan adalah semakin
berkurangnya peran negara terhadap tata kehidupan bangsanya. Dalam pendidikan, kini
pemerintah melepas tangan dengan memberikan porsi peranserta yang lebih besar bagi
masyarakat.
Dalam Pasal 54 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa peranserta
masyarakat dalam pendidikan dapat dilakukan secara perseorangan maupun kelompok.
Dengan begitu, kompetisi bukan hanya terjadi antar sekolah, tapi juga antar unsur dan
pengelola institusi pendidikan di dalamnya. Keterbukaan dan kebebasan yang penuh
kompetisi itu dapat menurunkan etika dalam dunia pendidikan karena bisa jadi banyak pihak
yang mementingkan kemenangan dalam persaingan.
Kebebasan dan persaingan dalam dunia pendidikan dibutuhkan agar pendidikan di
Indonesia tidak semakin tertinggal. Indonesia justru dianjurkan untuk mengikuti common
practice (melaksanakan standar dan prosedur baku) yang berlaku secara global. Pemerintah
harus menyiapkan kebijakan yang strategis, cerdas dan antisipastif dalam menghadapi
arus globalisasi yang telah merambah pendidikan nasional. Berbagai dampak dari proses
liberalisasi dalam dunia pendidikan itu meliputi berkurangnya tanggungan pendanaan dari
pemerintah terhadap sekolahan.
Dampak berikutnya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
relevan dengan kepentingan globalisasi akan semakin meningkat. Lapangan pekerjaan juga
akan semakin sesuai dengan basis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Kemudian,
semakin mendesaknya bentuk baru pengembangan pengelolaan institusi pendidikan yang
efektif dan efisien dalam merespons dinamika sosial.
Proses pendidikan bukan hanya transformasi pengetahuan, tetapi juga membentuk
watak dan moral seseorang dan masyarakat. Penyelenggara pendidikan diharapkan tidak
mengabaikan watak dan moralitas itu, karena di situlah letak pembentukan nilai edukasi.
Bukan hanya individu yang penuh keterampilan teknis dan profesional saja yang diharapkan
menjadi out put pendidikan, tetapi juga mampu berkembang sebagai manusia utuh dan
memiliki tanggung jawab sosial. Juga diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan
berperilaku manusiawi. Meskipun, pada dasarnya liberalisasi menjadi sebuah keniscayaan.
Forum Rektor Indonesia (FRI, 2007) menolak liberalisasi pendidikan dengan alasan
bahwa Indonesia belum siap melakukan liberalisasi pendidikan. Pendidikan merupakan
cara pembentukan karakter bangsa berkenaan dengan keteladanan terhadap nilai dan
budaya bangsanya. Permasalahan yang muncul akibat liberalisasi pendidikan dikategorikan:
Pertama, terjadinya benturan budaya. Pada saat pendidikan diserahkan pada pihak asing,
maka secara langsung pengaruh budaya luar akan mengusik dunia pendidikan. Apalagi kalau
sampai masuk dalam kehidupan masyarakat kita, sehingga akan terjadi kontraproduktif antara
budaya lokal dengan budaya asing, karena pendidikan berada dalam wilayah budaya.
Kedua, terjadinya polarisasi ideologi. Ideologi adalah jati diri atau karakter suatu
bangsa, ketika terjadi liberalisasi akan pergeseran karakter bangsa karena perubahan ideologi
dan masyarakat. Masuknya ideologi asing juga akan merubah tatanan kehidupan dan pola
pikir masyarakat.
Ketiga, terjadinya distorsi kepentingan. Setiap terjadi perubahan kebijakan dengan
sendirinya akan terjadi pergeseran kepentingan. Ketika liberalisasi pendidikan diberlakukan,
orientasi pendidikan akan berubah secara otomatis mengikuti pola pendidikan yang dibawa
masuk oleh pihak asing. Aspek ekonomi juga akan berpengaruh, manajemen juga akan
menyesuaikan dengan kepentingan pasar yang berkembang dan cenderung mengejar
keuntungan.
Liberalisasi pendidikan dapat membuka akses bagi pemilik modal besar untuk
mendiktekan kepentingannya. Mereka memandang peserta didik sebagai sumber daya demi
kepentingan bisnis atas dana yang dikeluarkannya. Dalam menghadapi situasi seperti ini,
watak pendidikan harus tetap dijaga untuk tetap mengutamakan pencarian kebenaran sebagai
upaya memanusiakan manusia yang menjadi fundamental pendidikan.
Masuknya kekuatan pasar, budaya korporasi dan kekuatan industri dapat merubah
arah pendidikan, sehingga akan terjadi pergeseran dari etika dan moralitas pendidikan
menjadi etika dan moral bisnis yang mengutamakan pencarian keuntungan yang efektif dan
mengejar efisiensi. Akuntabilitas yang berlaku bisa saja akuntabilitas pemilik modal.