Balada Seorang Narapidana (Bagian 105)


Oleh, Dalem Tehang

     

TUMBEN ini, masih sore sudah pada tidur,” sebuah suara keras mengejutkan kami. Ternyata seorang petugas piket berdiri di balik jeruji besi.


“Babe sudah lama belum tidurnya? Kalau sudah, bangunin dong. Saya mau ngomong,” lanjut petugas itu ke arah Irfan yang duduk di sampingku dan baru saja menghentikan pijatannya.


“Barusan aja tidur. Nanti dibangunin kalau sudah satu jam. Babe juga tadi ngingetin mau minum obat,” sahut Irfan. 


Saat itu, sebenarnya, aku belum tidur. Pikiranku masih berkelana. Kemana-mana. Hati ku pun masih gelisah. Terasa ada endapan lumpur di dalamnya.


“Oke, nanti saya kesini lagi, terimakasih ya,” ucap petugas piket itu dan meninggalkan kamar kami.


“Fan, emang Babe sudah tidur beneran?” kata Hendri. 


“Iya, baru aja tidur. Nggak berani aku ngebanguninnya. Nanti dia ngamuk,” kata Irfan.


“Nanti kalau petugas tadi dateng lagi, suruh ngomong sama aku aja kalau Babe masih tidur ya, Fan,” ujar Nedi, yang sudah kembali ke tempatnya. Di dekat jeruji besi.


“Ya om aja nanti langsung ngomong. Kan om yang deket sama jeruji,” sahut Irfan.


Terdengar suara Nedi tertawa. Pun Pepen yang telah berbaring di bidangnya, di samping Nedi.


“Emang kamu sudah mau tidur, Fan?” tanya Hasbi. Irfan menggeleng.


“Kenapa kamu nggak tidur aja sekalian. Kan Babe sudah tidur,” sela Tomy.


“Ada tugas khusus dari Babe. Aku nggak boleh tidur sampai dia bangun,” jelas Irfan.


“Tugas khusus apa emangnya, Fan?” tanya Hendri, ada rasa penasaran.


“Namanya tugas khusus ya nggak bisa diomongin-lah, om. Cukup aku aja yang tahu,” sahut Irfan sambil tertawa.


Sebelum aku menyampaikan akan tidur, memang ku pesankan kepada Irfan untuk terus di sampingku. Kejadian penganiayaan terhadap Robi, bisa saja akan berbalas. Dan aku tidak mau kecolongan. Karena di dalam sel, tidak mengenal kamus tidak mungkin. Segala yang tidak mungkin itu, kapan saja bisa menjadi mungkin. 


Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka. Ternyata agenda ngangin. Seorang petugas piket berdiri di pintu kamar. Semua penghuni diminta keluar.


“Saya nanti keluarnya, pak. Lagi nungguin Babe tidur,” kata Irfan.


“Memang Babe kenapa?” tanya petugas itu.


“Nggak apa-apa sih. Cuma tadi pesennya gitu. Kalau si Robi yang ngegeletak itu emang lagi kurang sehat. Jadi izin juga biar dia tidur aja,” jelas Irfan.


Aku yang tetap memejamkan mata seakan tengah tidur, terus mendengarkan perbincangan di kamar. Penegasan Irfan soal Robi yang tergeletak, ku akui sebuah pernyataan yang cerdik. Membuat petugas piket tidak memaksa Robi untuk dibangunkan. Sementara kami belum tahu, apakah Robi masih dalam kondisi pingsan ataukah sudah sadar.


Setelah beberapa waktu, aku bangun dari tempat tidur. Irfan yang duduk bersandar tembok di sampingku, menyampaikan ada petugas piket yang ingin ketemu.


Sambil menganggukkan kepala, aku ambil air mineral di samping tempat tidur dan mengeluarkan obat serta vitamin dari tas kecil tempat obat-obatan yang disiapkan istriku. Dan meminumnya.


“Kasih tahu petugas piket tadi kalau aku sudah bangun, Fan. Kali dia emang ada perlu penting,” kataku. 


Irfan langsung bergerak. Keluar kamar dan menuju pos penjagaan. Ku lihat Robi masih terbujur di tempatnya. Tidak ada gerakan sama sekali.


“Assalamualaikum. Maaf, Be. Tadi saya kesini, tapi Babe barusan tidur,” sebuah suara menyapaku. Ternyata petugas piket yang datang, dan langsung masuk kamar. Duduk di depanku.


“Waalaikum salam. Iya tadi nyempetin tidur sebentar. Mau minum obat. Lagi agak demam,” kataku, bersandar di tembok pemisah dengan kamar mandi.


Petugas piket itu meminta bantu dana Rp 50.000, karena ada keperluan penting. Dan ia meminjami telepon seluler android-nya selama bertugas sampai esok pagi.


Aku panggil Atmo. Bendahara kamar itu ku minta mengeluarkan uang sesuai yang dibutuhkan petugas tersebut. Dan tidak lama kemudian, ia beranjak pergi. Setelah menaruhkan hp android-nya di pangkuanku. 


Aku panggil Nedi dan Hendri. Meminta mereka ngangin di depan pintu kamar saja. Karena aku akan menelepon istriku. Kali ini bisa video call. 


“Alhamdulillah, ayah bisa video call. Hp siapa yang dipakai ini, ayah,” ujar istriku dengan suara riang saat aku video call.


“Punya petugas piket. Dia minjemin ayah. Gimana kondisi bunda, ada pengaruh nggak obatnya,” ujarku sambil memandangi wajah istriku dari layar telepon genggam.


“Alhamdulillah, sudah enakan badan bunda. Seneng bunda kalau ayah bisa video call gini. Lihat ini kamar kita. Bunda panggil anak-anak dulu ya,” kata istriku sambil memperlihatkan kamar kami. Penataannya tetap seperti yang dulu.


Ia keluar kamar. Menuju kamar Bulan dan Halilintar. Ku pandangi semua lingkungan rumahku yang tersorot kamera video. Begitu rindu aku akan semua itu.


“Oh, ayah bisa vidcall ya. Hebat ini ayah. Kayak bukan lagi di tahanan aja,” teriak Bulan begitu istriku mengarahkan telepon selulernya ke wajah dia dan tampak wajahku.


Wajah nduk-ku Bulan tampak langsung berbinar. Penuh keceriaan. Ia minta bundanya menyorot lingkungan kamarnya, agar aku bisa melihat semuanya.


Bulan mengambil hp istriku, dan mengetuk pintu kamar Halilintar. Cah ragil-ku juga sangat terkejut begitu melihat aku di layar telepon genggam.


“Wuih, ayah luar biasa. Surprise bener ini. Kok bisa ayah vidcall gini ya. Sehat-sehat terus ya, ayah,” ucap Halilintar sambil mengacungkan kedua jempol jarinya.


“Alhamdulillah, selalu ada kemudahan, le. Ayah sehat terus. Kalian semua juga harus sehat ya. Tetep semangat, dan jangan pernah lupa berdoa,” kataku dengan suara penuh kegembiraan.


“Ayah, nanti Sabtu sampai Minggu, mbak mau camping sama kawan-kawan sekolah. Ini kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Boleh ya. Dan doain mbak ya, ayah,” kata Bulan sambil menatapku dari layar hp.


“Iyo, ayah izinin dan terus doain. Sing penting tetep hati-hati dan cermat. Jangan lupa baca Bismillah,” ucapku.


Telepon seluler kembali ke tangan istriku. Ia masuk ke kamar. Dan kami berbincang sambil ia merebahkan badan di tempat tidur. Meski penuh keceriaan, tetap tampak di wajahnya, istriku sedang kurang sehat. Ada pucat pasi terlukis disana.


“Bunda istirahat ya. Jangan malem-malem tidurnya. Doa ayah selalu buat bunda dan anak-anak,” kataku setelah kami berbincang sekitar 40 menitan, dan aku pun menyudahi video call. 


Begitu keluar kamar mandi seusai video call, aku panggil Nedi dan Hendri yang berdiri di pintu kamar sesuai pesanku. Aku tawari mereka untuk menghubungi istri dan anak-anaknya dengan video call memakai telepon petugas piket.


“Siap, siapa dulu nih, Be. Aku apa Hendri?” tanya Nedi dengan suara penuh kegembiraan.


“Terserah kalian aja. Yang pasti, gantian pakainya. Nggak bisa barengan,” sahutku sambil tersenyum.


Akhirnya, Nedi yang menelepon terlebih dahulu, setelah Hendri mempersilahkan. Sebuah kebersamaan bagi penghuni kamar 10 memang harus berangkat dari saling menghargai.


Nedi mengikuti pola yang aku arahkan. Sambil duduk di kloset meneleponnya. Tidak lama kemudian, terdengar suaranya tengah berbincang. Pelan.


Saat aku berbincang ringan dengan Hendri di tempatku, terlihat badan Robi bergerak. Perlahan ia duduk. Masih ada darah di sudut bibirnya. Ia menjerit keras saat akan meluruskan kaki kirinya. Ternyata, akibat diduduki dengan kencang oleh Irfan, ada yang mengsol di bagian dengkul Robi.


Matanya perlahan menatap Hendri dan aku. Sambil menggelengkan kepalanya, ia menangis.


“Ampun, Be. Aku mohon maaf bener atas perkataan dan perbuatanku,” ujar Robi dengan suara tertahan. Tampak ia sangat kesakitan pada kaki kirinya.


Aku dan Hendri hanya diam. Tetap di tempatku. Sambil memandangi Robi, yang bergerak pelan. Menyeret kaki kirinya, mendekati kami.


Hendri akan berdiri. Membantu Robi yang bergerak pelan sambil menyeret kakinya. Spontan, aku tahan upaya Hendri. Lewat gelengan kepala, aku beri isyarat padanya. Untuk membiarkan Robi berjuang sendiri. 


“Kasihan, Be. Dia kayaknya mau ke tempat kita,” ucap Hendri dengan pelan.


“Biarin aja. Biar dia belajar dari kejadian tadi. Kalau kita bantu, dia nggak akan punya kesadaran sendiri,” sahutku, juga dengan pelan. 


“Tapi kasihan-lah, Be,” lanjut Hendri, terus memandang Robi yang bergerak pelan menyeret kaki kirinya yang mungkin saja retak tulang dengkulnya.


“Nggak semua hal yang kita lihat harus ada jawabannya sekarang, Hen. Suatu saat nanti, kita akan paham kenapa begini kisah kehidupan itu,” tuturku dan menepuk bahu Hendri. Menenangkannya. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini