Balada Seorang Narapidana (Bagian 97)


Oleh, Dalem Tehang

 

SATU orang provos dan seorang petugas berpakain preman berdiri dari balik jeruji besi kamarku. 


“Siang, kap. Maaf kami akan adakan razia. Memeriksa kamar beserta semua isinya,” kata petugas berpakaian preman dengan ramah, sambil memandangku.


Aku mendekat ke jeruji besi. Menyalami kedua petugas yang ada disana.


“Silahkan, pak,” ucapku dengan sungguh-sungguh. 


Tidak ada sedikit pun kekhawatiran di kamarku akan ditemukan barang-barang terlarang.


Pada saat bersamaan, seorang anggota provos lain datang. Sedangkan rombongan lainnya masuk ke kamar 9. Melakukan razia di sebelah kamarku. 


“Pak Mario ya?” tanya petugas provos yang baru datang, dan langsung berdiri berdampingan dengan dua petugas sebelumnya.


“Iya, saya Mario, pak. Siap amankan pelaksanaan razia,” sahutku dan menundukkan wajah. Memberi hormat.


“Sesuai perintah komandan, untuk razia siang ini kami tidak masuk ke kamar pak Mario. Kami percaya kamar ini bersih dari berbagai barang terlarang. Tapi mohon betul, untuk tetap dijaga semuanya dengan baik,” kata petugas provos itu lanjut.


“Siap, terimakasih kepercayaannya, pak. Inshaallah saya dan kawan-kawan di kamar ini bisa terus taat pada ketentuan disini,” ucapku dan memberi hormat.


Tanpa berkata lagi, ketiga petugas itu bergerak. Meninggalkan kamar 10. Dan dari kejauhan, terdengar suara beberapa tahanan dibawa petugas yang melakukan razia.


“Alhamdulillah. Kalau Allah berkehendak, sesuatu yang nggak disangka-sangka bisa aja terjadi. Luar biasa pengalamanku di kamar 10 ini,” ucap Nedi dan menengadahkan tangannya sambil menatap ke langit-langit kamar. Mengucap syukur pada Sang Pengatur.


“Terimakasih, Be. Berkat Babe-lah kami semua bisa nyaman gini. Nggak kebayang gimana kacaunya kamar-kamar lain yang dirazia,” Tomy menyela.


“Ini semua berkat ketakwaan kita pada Yang Kuasa, dan kepatuhan kita pada aturan yang ada. Berterimakasih-lah pada Yang Maha Agung, dan diri kita masing-masing yang terus semangat perbaiki diri,” kataku kemudian.  


Aku pandangi satu demi satu penghuni kamar 10. Tampak semua bernafas lega. Plong rasanya. Karena tidak dilakukan razia di kamar kami seperti 9 kamar lainnya. 


Baru saja menarik nafas lega, seorang tamping datang. Memberitahu Asnawi dan Arya untuk keluar kamar, karena segera dilakukan pelimpahan.


Kami semua menyalami juga memeluk Asnawi dan Arya bergantian. Begitu kuat rasa sedih itu.


“Kami tunggu Babe di rutan ya. Jangan lama-lama disini,” ujar Asnawi saat memelukku dengan penuh haru.


Kami melepas keberangkatan Asnawi dan Arya mengikuti proses pelimpahan perkaranya hanya dari dalam kamar sel. Karena begitu keduanya keluar, pintu langsung digembok lagi oleh tamping.


Asnawi dan Arya melangkah dengan tenang. Ditangannya terdapat bungkusan pakaian, juga nasi bungkus dan dua gelas air mineral sebagai bekal mereka. 


Seusai solat Ashar, aku keluar kamar. Bergabung dengan Bagus di pos penjagaan. 


“Nah, ini dia Babe, akhirnya muncul juga,” ujar Bagus, begitu melihatku masuk ke ruang pos penjagaan.


“Kami sudah tiga kali kontrol tukang tadi, Be. Sip emang kerjanya,” kata seorang petugas piket. 


“Maaf tadi aku ketiduran, lagi agak kurang fit aja,” ucapku sambil menaruhkan satu bungkus rokok di meja petugas piket.


Baru saja kami berbincang mengenai hasil pekerjaan tukang melakukan renovasi kamar di hari kedua, petugas piket memberi isyarat padaku sambil ia melihat ke arah pintu masuk kompleks rumah tahanan. Spontan aku menengok. Ternyata istriku sedang berjalan menuju pos penjagaan.


Begitu istriku masuk pintu pos, aku membuat kejutan. Langsung menyambutnya. Tampak sesaat ia terkejut. Namun kemudian ia tersenyum sumringah dan langsung memelukku.


“Kok ayah ada disini” tanya istriku, Laksmi.


“Kap kan lagi tugas ngawasin tukang, bu. Cuma baru nongol. Belum lagi ngelihat kamar-kamar yang direnovasi hari ini, ibu dateng,” petugas piket yang menyahut sambil tersenyum.


“Oh iya ya. Kan ayah lagi dapet tugas dari pak Rudy ya,” kata istriku.


Kami duduk di bangku panjang yang ada di ruangan pos penjagaan. Sambil ku peluk bahunya, istriku bercerita mengenai berbagai hal. 


Mulai dari urusan pekerjaannya di kantor, kegiatan keseharian anak-anak, hingga munculnya teror yang ia alami belakangan ini.


“Tapi nggak ada yang perlu ayah khawatirin kok. Alhamdulillah, bunda sama anak-anak tetap sehat dan tegar,” ujar istriku dengan kalem.


Sesaat ia menengokkan wajahnya. Menatapku lekat-lekat. Seakan mencari keteguhan mentalku menghadapi beragam persoalan pada keluarga kami yang seakan tiada henti, seiring aku masuk bui.   


“Bunda dan anak-anak tetap kuat dan tegar kan?” kataku, juga menatap wajah istriku. 


“Ayah nggak perlu raguin ketegaran kami ya. Yang penting ayah tetep jaga kesehatan. Sehat badan, sehat pikiran, dan sehat hati. Kalau kata nduk ayah, orang yang belum pernah ngalamin penderitaan, nggak akan pernah rasain yang namanya kebahagiaan. Kami enjoy aja jalani semuanya, karena ini memang takdir ayah dan takdir kami juga,” urai istriku. 


Ada seulas senyum di sudut bibirnya. Senyum ketegaran seorang istri yang tangguh.


Pelukanku makin erat ke bahu istriku. Rasa bangga dan haru bercampur dengan rasa bersalah, menyatu dalam keeratan pelukanku. Dan kian tersadari, bila rumah yang sesungguhnya bagi siapapun anak manusia, adalah keluarga. 


“Terimakasih atas semuanya ya, bunda. Juga buat anak-anak yang tetap tegar dan terus survive dengan aktivitasnya. Inshaallah kita ikhlas dengan takdir ini,” ucapku dengan suara tercekat.


“O iya, semalem cah ragil ayah ngasih kertas ini. Dia nulis sebuah hadits, katanya disuruh kasih ke ayah,” kata istriku sambil memberikan selembar kertas yang dilipat rapih.


Ku buka kertas itu dengan perlahan. Ada tulisan tangan anak bungsuku, Halilintar. Ia nukil sebuah hadits. 


Kalimatnya berbunyi: “Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah Muhammad SAW bersabda; Apabila Allah menginginkan kebaikan pada hamba-Nya, maka Allah akan menyegerakan hukuman untuknya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki kejelekan pada hamba-Nya, maka Allah tidak akan menghukumnya disebabkan dosa, hingga nanti baru dibalas secara sempurna di hari kiamat.”


Membaca tulisan tangan cah ragil itu, aku terkesiap. Ia begitu piawai mengilhamkan hadits tersebut sebagai sebuah pemahaman, jika apa yang ku alami saat ini tidak lain adalah penebusan di dunia atas dosa dan kesalahanku, dan itu adalah wujud kebaikan Yang Maha Pengasih untukku.


Perlahan ku genggam kertas tulisan tangan Halilintar, ku tempelkan di dadaku. Sontak, keharuan itu menggema di relung sanubariku. Betapa seorang anak mampu memberi motivasi dan penyadaran yang begitu kuat melalui sebuah tulisan dari sabda Kanjeng Nabi. 


Tanpa disadari, air menetes dari mataku. Istriku buru-buru memeluk sambil mengusap air mataku. Ia amat tidak ingin aku meneteskan air mata, apalagi sampai dilihat orang lain. Meski ia juga memahami, bahwa meneteskan air mata adalah hal yang manusiawi. 


“Kita tetep sabar dan terus berusaha ikhlas dengan apapun yang terjadi ya, ayah. Jangan lelah berdoa, yakini Allah pasti akan menolong kita, dan nggak usah dipikirin cara-Nya menolong kita. Bagian kita cukup berusaha, berdoa dan percaya. Itu aja,” kata istriku sambil terus memelukku dengan penuh kasih.


Aku hanya bisa menganggukkan kepala, tanpa keluar sepotong kata. Pada jiwa yang terdalam, terus terlontar ucapan rasa syukur. Karena istri dan anak-anakku telah menemukan alur kehidupan yang tegak lurus ke pintu langit. 


Ada pengakuan, bila sebuah percikan hidayah telah lahir bersamaan dengan terpisahnya aku dalam keseharian dengan mereka. Maka benarlah bahwa bersama kesulitan ada kemudahan, dan seiring adanya ujian hadir keberkahan. (bersambung)

LihatTutupKomentar

Terkini